Definisi
Pelapisan Sosial
Pengaruh pelapisan sosial merupakan gejala umum yang dapat ditemukan di setiap masyarakat pada segala zaman. Betapapun sederhananya suatu masyarakat gejala ini pasti dijumpai. Pada sekitar 2000 tahun yang lalu, Aristoteles menyatakan bahwa di dalam setiap negara selalu terdapat tiga unsur yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang melarat dan mereka yang ada di tengah-tengah.
Adam Smith membagi masyarakat ke dalam tiga kategori yaitu orang-orang yang hidup dari penyewaan tanah, orang-orang yang hidup dari upah kerja, dari keuntungan perdagangan. Sedangkan Thorstein Veblen membagi masyarakat ke dalam dua golongan yang pekerja, berjuang untuk mempertahankan hidup dan golongan yang banyak mempunyai waktu luang karena kekayaannya.
Pernyataan tiga tokoh di atas membuktikan bahwa pada zaman ketika mereka hidup dan dapat diduga pula pada zaman sebelumnya, orang-orang telah meyakini adanya sistem pelapisan dalam masyarakat, yang didalam studi sosiologi disebut pelapisan.
Sedangkan pelapisan sosial dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau para warga masyarakat ke dalam kelas secara hierarkis (bertingkat). Perwujudan adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah di dalam masyarakat.
Di dalam masyarakat terdapat pelapisan sosial yang akan selalu ditemukan dalam masyarakat selama di dalam masyarakat tersebut terdapat sesuatu yang dihargai demikian menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam bukunya “Setangkai Bunga Sosiologi”, sesuatu yang dihargai itu adalah uang atau benda-benda yang lain yang bernilai ekonomis, politis, agamis, sosial maupun kultural.
Adanya kelas yang tinggi dan kelas yang rendah itu disebabkan karena di dalam masyarakat terdapat ketidakseimbangan atau ketimpangan (inequality) dalam pembagian sesuatu yang dihargai yang kemudian menjadi hak dan kewajiban yang dipikul dari warga masyarakat ada segolongan orang yang mendapatkan pembagian lebih besar dan ada pula mendapatkan pembagian lebih kecil, sedangkan yang mendapatkan lebih besar mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi, yang mendapatkan lebih kecil menduduki pelapisan yang lebih rendah. Pelapisan mulai ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama atau organisasi sosial.
Pelapisan sosial merupakan hasil dari kebiasaan manusia berhubungan antara satu dengan yang lain secara teratur dan tersusun biak secara perorangan maupun kelompok, setiap orang akan mempunyai situasi sosial (yang mendorong untuk mengambil posisi sosial tertentu.
Pengaruh pelapisan sosial merupakan gejala umum yang dapat ditemukan di setiap masyarakat pada segala zaman. Betapapun sederhananya suatu masyarakat gejala ini pasti dijumpai. Pada sekitar 2000 tahun yang lalu, Aristoteles menyatakan bahwa di dalam setiap negara selalu terdapat tiga unsur yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang melarat dan mereka yang ada di tengah-tengah.
Adam Smith membagi masyarakat ke dalam tiga kategori yaitu orang-orang yang hidup dari penyewaan tanah, orang-orang yang hidup dari upah kerja, dari keuntungan perdagangan. Sedangkan Thorstein Veblen membagi masyarakat ke dalam dua golongan yang pekerja, berjuang untuk mempertahankan hidup dan golongan yang banyak mempunyai waktu luang karena kekayaannya.
Pernyataan tiga tokoh di atas membuktikan bahwa pada zaman ketika mereka hidup dan dapat diduga pula pada zaman sebelumnya, orang-orang telah meyakini adanya sistem pelapisan dalam masyarakat, yang didalam studi sosiologi disebut pelapisan.
Sedangkan pelapisan sosial dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau para warga masyarakat ke dalam kelas secara hierarkis (bertingkat). Perwujudan adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah di dalam masyarakat.
Di dalam masyarakat terdapat pelapisan sosial yang akan selalu ditemukan dalam masyarakat selama di dalam masyarakat tersebut terdapat sesuatu yang dihargai demikian menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam bukunya “Setangkai Bunga Sosiologi”, sesuatu yang dihargai itu adalah uang atau benda-benda yang lain yang bernilai ekonomis, politis, agamis, sosial maupun kultural.
Adanya kelas yang tinggi dan kelas yang rendah itu disebabkan karena di dalam masyarakat terdapat ketidakseimbangan atau ketimpangan (inequality) dalam pembagian sesuatu yang dihargai yang kemudian menjadi hak dan kewajiban yang dipikul dari warga masyarakat ada segolongan orang yang mendapatkan pembagian lebih besar dan ada pula mendapatkan pembagian lebih kecil, sedangkan yang mendapatkan lebih besar mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi, yang mendapatkan lebih kecil menduduki pelapisan yang lebih rendah. Pelapisan mulai ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama atau organisasi sosial.
Pelapisan sosial merupakan hasil dari kebiasaan manusia berhubungan antara satu dengan yang lain secara teratur dan tersusun biak secara perorangan maupun kelompok, setiap orang akan mempunyai situasi sosial (yang mendorong untuk mengambil posisi sosial tertentu.
Terjadinya
Stratifikasi Sosial
a. Terjadi Dengan
Sendirinya
Proses ini
berjalan sesuai dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Adapun orang-orang
yang menduduki lapisan tertentu dibentuk bukan berdasarkan atas kesengajan yang
disusun sebelumnya oleh masyarakat itu tetapi berjalan secara alamiah dengan
sendirinya. Pengakuan-pengakuan terhadap kekuasaan dan wewenang tumbuh dengan
sendirinya. Oleh karena sifatnya yang tanpa disengaja inilah maka bentuk
pelapisan dan dasar dari pelapisan itu bervariasi menurut tempat, waktu dan
kebudayaan masyarakatnya. Pada pelapisan yang semacam ini maka kedudukan
seseorang pada sesuatu strata atau pelapisan adalah secara otomatis, misalnya
karena usia tua, kepandaian yang lebih, orang yang berbakat seni dan
sebagainya.
b. Terjadi Dengan
Disengaja
Sistem pelapisan
yang disusun dengan sengaja ditujukan untuk mengejar tujuan bersama. Di dalam
sistem pelapisan ini ditentukan secara jelas dan tegas adanya wewenang dan
kekuasaan yang diberikan kepada seseorang. Sehingga dalam hal wewenang dan
kekuasaan ini maka di dalam organisasi itu terdapat keteraturan sehingga jelas
bagi setiap orang berada pada tempatnya. Misalnya di dalam organisasi
pemerintahan, organisasi partai politik, perusahaan besar,
perkumpulan-perkumpulan resmi, dan lain-lain(2).
Kemudian adapun perbedaan
sistem pelapisan dalam masyarakat
1. Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi
atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam
lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak
mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian
pula sebaliknya, pa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan
yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat
tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun
kebiasaannya dalam berbelanja.
2. Ukuran
kehormatan
Ukuran kehormatan
dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang
disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial
masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional,
biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada
masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi
luhur.
3. Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu
pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu
pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati
lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan
ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik
(kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter,
insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun
sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang
disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya,
sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk
memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah
palsu dan seterusnya(1).
Teori pelapisan
sosial
1. Sistem
stratifikasi sosial sering berpokok pada sistem pertentangan dalam masyarakat.
2. Sistem
stratifikasi sosial dianaisis dalam ruang lingkup unsur-unsur;
a. Distribusi
hak-hak istimewa yang objektif seperti misalnya penghasilan, kekayaan,
keselamatan, wewenang, dan sebagainya
b. Sistem
petanggaan yang diciptakan warga-earga masyarakat (prestise dan penghargaan)
c. Kriterian
sistem pertentangan, yaitu apakah didapatkan berdasarkan kualitas pribadi,
keanggotaan kelompok kerabat tertentu, milik, wewenang atau kekuasaan
d. Lambing-lambang
kedudukan, seperti tingkah laku hidup, cara berpakaian, perumahan, kenaggotaan
suatu organisasi dan selanjutnya
e. Mudah sukarnya
bertukar kedudukan
f. Solidaritas
diantara individu-individu atau kelompok-kelompok sosial yang menduduki
kedudukan yang sama dalam sistem sosial masyarakat
· Pola-pola
interaksi-interaksi(struktur clique, keanggotaan organisasi perkawinan dan
sebagainya)
· Kesamaan atau
ketidaksamaan sistem kepercayyaan, sikap dan nilai-nilai
· Kesadaran akan
kedudukan masing-masing
· Aktivitas
sebagai organ aktif(3)
Adanya pelaspisan
social memacu untuk munculnya kesamaan derajat. Cita-cita kesamaan derajat
sejak dulu telah diidam-idamkan oleh manusia. Agama mengajarkan bahwa setiap
manusia adalah sama. PBB juga mencita-citakan adanya kesamaan derajat. Terbukti
dengan adanya universal Declaration of Human Right, yang lahir tahun 1948
menganggap bahwa manusia mempunyai hak yang dibawanya sejak lahir yang melekat
pada dirinya. Beberapa hak itu dimiliki tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras,
agama atau kelamin, karena itu bersifat asasi serta universal.
Indonesia, sebagai
Negara yang lahir sebelum declaration of human right juga telah mencantumkan
dalam paal-pasal UUD 1945 hak-hak azasi manusia. Pasal 2792) UUD 1945
menyatakan bahwa, tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 29(2) menyatakan bahwa Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu(4).
Alinea Pertama
Pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945, menyebutkan “Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan
peri-keadilan”. Secara khusus tidak ada penjelasan, apa sebetulnya makna
kemerdekaan yang dimaksud, dan bagaimanapula kaitannya dengan keadilan sosial
yang menjadi tujuan kita bernegara. Namun, tidak salah jika kita menafsirkan
kemerdekaan dalam arti yang luas, bahwa bukan saja kemerdekaan dari belenggu
penjajahan fisik tetapi justru kemerdekaan dari segala bentuk penindasan
politik, hukum, ekonomi, dan budaya.
Pasal 1 Ayat (3)
UUD 1945, menyatakan pula bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Prinsip
negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap
orang di hadapan hukum (equality before the law). Atas dasar itu, maka
prinsipnya ditentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum, sesuai bunyi Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 Amandemen kedua. Pasal 27 ayat
(1) UUD 1945 menyebutkan, setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kekecualian.
Melihat isi
konstitusi di atas, maka antara bantuan hukum dan negara mempunyai hubungan
yang erat, apabila bantuan hukum dipahami sebagai hak maka dipihak lain negara
mempunyai kewajiban untuk pemenuhan hak tersebut. Seperti yang disebutkan Pasal
34 ayat (1) UUD 1945, bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara
oleh negara”. Artinya, negara jelas mengakui hak ekonomi, hukum, sosial,
budaya, sipil dan politik dari fakir miskin. Dalam kaitannya dengan bantuan
hukum cuma-cuma untuk rakyat miskin/fakir, maka tugas konstitusional negara
ialah dengan membiayai gerakan bantuan hukum (alokasi anggaran) sebagai wujud
dari tanggung jawab negara untuk melindungi nasib fakir miskin guna mengakses
keadilan.
Budaya demokrasi
Pancasila, merupakan paham demokrasi yang berpedoman pada asas kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan
Indonesia, dan yang bersama-sama menjiwai keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Budaya demokrasi Pancasila mengakui adanya sifat kodrat manusia
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara.
Rumusan sila
kelima Pancasila sebagai dasar filsafat negara dan dasar politik negara yang di
dalamnya terkandung unsur keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab
itu, dalam perilaku budaya demokrasi yang perlu dikembangkan dalam kehidupan
sehari-hari dapat adalah hal-hal sebagai berikut :1. Menjunjung tinggi
persamaan, Budaya demokrasi Pancasila, mengajarkan bahwa setiap manusia
memiliki persamaan harkat dan derajat dari sumber yang sama sebagai makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, dalam kehidupan sehari-hari
hendaknya kita mampu berbuat dan bertindak untuk menghargai orang lain sebagai
wujud kesadaran diri mau menerima keberagaman di dalam masyarakat. Menjunjung
tinggi persamaan, terkandung makna bahwa kita mau berbagi dan terbuka menerima
perbedaan pendapat, kritik dan saran dari orang lain. 2. Menjaga keseimbangan
antara hak dan kewajiban, Setiap manusia diberikan fitrah hak asasi dari Tuhan
YME berupa hak hidup, hak kebebasan dan hak untuk memiliki sesuatu. Penerapan
hak-hak tersebut bukanlah sesuatu yang mutlak tanpa batas. Dalam kehidupan
bermasyarakat, ada batas-batas yang harus dihormati bersama berupa hak-hak yang
dimiliki orang lain sebagai batasan norma yang berlaku dan dipatuhi. Untuk itu,
dalam upaya mewujudkan tatanan kehidupan sehari-hari yang bertanggung jawab
terhadap Tuhan, diri sendiri, dan orang lain, perlu diwujudkan perilaku yang
mampu menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban dengan sebaik-baiknya. 3.
Membudayakan sikap bijak dan adil, Salah satu perbuatan mulia yang dapat
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari baik kepada diri sendiri maupun kepada
orang lain adalah mampu bersikap bijak dan adil. Bijak dan adil dalam makna
yang sederhana adalah perbuatan yang benar-benar dilakukan penuh dengan
perhitungan, mawas diri, mau memahami apa yang dilakukan orang lain dan
proporsional (tidak berat sebelah). Perlu bagi kita di dalam masyarakat untuk
senantiasa mengembangkan budaya bijak dan adil dalam kerangka untuk mewujudkan
kehidupan yang saling menghormati harkat dan martabat orang lain, tidak
diskrimanatif, terbuka dan menjaga persatuan dan keutuhan lingkungan masyarakat
sekitar.
Equality before
the law berasal dari pengakuan terhadap individual freedom bertalian dengan hal
tersebut Thomas Jefferson menyatakan bahwa “that all men are created equal”
terutama dalam kaitannya dengan hak-hak dasar manusia. Pasal 27 ayat (1) UUD
1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya. Artinya, semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Dengan
demikian konsep Equality before the Law telah diintodusir dalam konstitusi,
suatu pengakuan tertinggi dalam sistem peraturan perundang-undangan di tanah
air.
Ironisnya dalam
prakteknya hukum di Indonesia masih diskriminatif, equality before the law
tidak diterapkan secara equal bahkan seringkali diabaikan, kepentingan kelompok
tertentu lebih mengedepan dibandingkan kepentingan publik.
Pengingkaran
terhadap konsep ini kian marak terjadi, sebagai ilustrasi, sebutlah misalnya
kasus KPU (Suara Karya 2005) , dimana hanya Nazaruddin dan Mulyana W Kusumah
yang dituntut di pengadilan. Sementara mereka yang turut memutus pembagian
kerja pengadaan barang-barang keperluan pemilu dalam rapat paripurna KPU tidak
diperlakukan sama di hadapan hukum. Kalau begitu, bagaimana asas persamaan di
hadapan hukum? Padahal arti persamaan di hadapan hukum (equality before the
law) adalah untuk perkara (tindak pidana) yang sama. Dalam kenyataan, tidak ada
perlakuan yang sama (equal treatment), dan itu menyebabkan hak-hak individu
dalam memperoleh keadilan (access to justice) terabaikan. Perlakuan berbeda
dalam perkara KPU, karena ada yang tidak dituntut, menyebabkan pengabaian
terhadap kebebasan individu. Ini berarti, kepastian hukum terabaikan. Dalam
konsep equality before the law, hakim harus bertindak seimbang dalam memimpin
sidang di pengadilan – biasa disebut sebagai prinsip audi et alteram partem(5).
Kemudian dalam UUD
45 terdapat 4 pokok pasal yang menyangkut tentang hak asasi manusia.
Empat pokok
hak-hak asasi dalam empat pasal UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1. Pada pasal 27
ayat 1 menetapkan bahwa:” Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam
Hukum dan Pemerintahan dan Wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.”
2. Pada pasal 28
bahwa “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mngeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh Undang-Undang.”
3. Pada pasal 29
ayat 2 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.”
4. Pada pasal 31:
(1) “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran” dan (2)”Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan suatu system pengajaran nasional, yang diatur
dengan undang-undang.”(6)
Dalam masyarakat
tertentu ada sebagian penduduk ikut terlibat dalam kepemimpinan, sebaliknya
dalam masyarakat tertentu penduduk tidak diikut sertakan. Dalam pengertian umum
elite menunjukkan sekelompok orang yang dalam masyarakat
menempati kedudukan tinggi. Dalam arti lebih khusus lagi elite adalah sekelompok
orang terkemuka di bidang-bidang tertentu dan khususnya golongan kecil yang
memegang kekuasaan.
Dalam cara
pemakaiannya yang lebih umum elite dimaksudkan : “ posisi di dalam masyarakat
di puncak struktur struktur sosial yang terpenting, yaitu posisi tinggi di
dalam ekonomi, pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran,
dan pekerjaan-pekerjaan dinas.” Tipe masyarakat dan sifat kebudayaan sangat
menentukan watak elite. Dalam masyarakat industri watak elitnya berbeda sama
sekali dengan elite di dalam masyarakat primitive(4).
Fungsi elite dalam
memegang strategi
Pembedaan elite
dalam memegang strategi secara garis besar adalah sebagai berikut :
a. Elite politik
(elite yang berkuasa dalam mencapai tujuan).
b. Elite ekonomi,
militer, diplomatik dan cendekiawan (mereka yang berkuasa atau mempunyai
pengaruh dalam bidang itu).
c. Elite agama,
filsuf, pendidik, dan pemuka masyarakat.
d. Elite yang
dapat memberikan kebutuhan psikologis, seperti : artis, penulis, tokoh film,
olahragawan dan tokoh hiburan dan sebagainya.
Elite dari segala
elite dapatlah menjalankan fungsinya fungsinya dengan mengajak para elite
pemegang strategi di tiap bidangnya untuk bekerja sebaik-baiknya. Kecuali itu
dimanapun juga para elite pemegang strategi tersebut memiliki prinsip yang sama
dalam menjalankan fungsi pokok maupun fungsinya yang lain, seperti memberikan
contoh tingkah laku yang baik kepada masyarakatnya, mengkoordinir serta
menciptakan yang harmonis dalam berbagai kegiatan, fungsi pertahanan dan
keamanan, meredakan konflik sosial maupun fisik dan dapat melindungi
masyarakatnya terhadap bahaya dari luar.
Manusia di samping
sebagai mahluk pribadi juga sebagai mahluk sosial yang pada suatu waktu juga
berhubungan dengan manusia lain, terkadang juga tergabung dalam suatu kelompok
baik kelompok kumpulan orang-orang yang cukup besar maupun dalam suatu massa.
Massa (mass)
atau crowd adalah suatu bentuk kumpulan (collection)
individu-individu, dalam kumpulan tersebut tidak terdapat interaksi dan dalam
kumpulan tersebut tidak terdapat adanya struktur dan pada umumnya massa
berjumlah orang banyak dan berlangsung lama.
a. Massa menurut
Gustave Le Bon (yang dapat dipandang sebagai pelopor dari psikologi massa)
bahwa massa itu merupakan suatu kumpulan orang banyak, berjumlah ratusan atau
ribuan, yang berkumpul dan mengadakan hubungan untuk sementara waktu, karena
minat dan kepentingan yang sementara pula. Misal orang yang melihat
pertandingan sepak bola, orang melihat bioskop dan lain sebagainya (Lih,
Gerungan 1900).
b. Massa menurut
Mennicke (1948) mempunyai pendapat dan pandangan yang lain shingga ia
membedakan antara massa abstrak dan massa konkrit. Massa abstrak adalah
sekumpulan orang-orang yang didorong oleh adanya pesamaan minat, persamaan
perhatian, persamaan kepentingan, persamaan tujuan, tidak adanya struktur yang
jelas, tidak terorganisir. Sedangkan yang dimaksud dengan massa konkrit adalah
massa yang mempunyai ciri-ciri:
1. Adanya ikatan
batin, ini dikarenakan adanya persamaan kehendak, persamaan tujuan, persamaan
ide, dan sebagainya.
2. Adanya
persamaan norma, ini dikarenakan mereka memiliki peraturan sendiri, kebiasaan
sendiri dan sebagainya.
3. Mempunyai
struktur yang jelas, di dalamnya telah ada pimpinan tertentu.
Antara massa
absrak dan massa konkrit kadang-kadang memiliki hubungan dalam arti bahwa massa
abstrak dapat berkembang atau berubah menjadi konkrit, dan sebaliknya
massa konkrit bisa berubah ke massa abstrak. Tetapi ada kalangan massa abstrak
bubar tanpa adanya bekas. Apa yang dikemukakan oleh Gustave Le Bon dengan
massa dapat disamakan dengan massa abstrak yang dikemukakan oleh Mennicke,
massa seperti ini sifatnya temporer, dalam arti bahwa massa itu dalam waktu
yang singkat akan bubar.
c. Massa menurut
Park dan Burgess (Lih. Lindzey, 1959) membedakan antara massa aktif dan massa
pasif, massa aktif disebut mob, sedangkan massa pasif disebut audience.
Dalam mob telah ada tindakan-tindakan nyata misalnya dimontrasi, perkelahian
massal dan sebagianya. Sedangkan pada tindakan yang nyata, misal orang-orang yang
berkumpul untuk menjadi mob, sebaliknya mob dapat berubah menjadi audience(7).
Dari uraian dia
atas menurut saya bahwa pelapisan social itu merupakan sesuatu yang sudah
menetap dalam masyarakat. Tak dipungkiri bahwa masyarakat akan bergaul dengan
kelompok pelapisan sosial tertentu. Hal ini sangat tidak baik dalam proses
social karena akan memecah persatuan dan keharmonisan dalam masyarakat.
Kemudian munculah peraturan-paraturan yang menuju pada persamaan hak untuk
semua lapisan-lapisan social tersebut. Dalam perkembangannya pelapisan social
ini pun mencipptakan kelompok-kelopok elite tertentu.. Kelompok ini dianggap
sebagai kasta tertinggi dalam masyarakat. Kelompok ini lebih banyak menjadi
penggerak di antara pelapisan kelompok social yang lain. Sehingga kehadirannya
mampu mempercepat jalannya suatu proses. Tapi sisi negatifnya adalah kelompok
ini pun dapat menyebabkan masalah yang lebih dari pelapisan social yang lain.
Misalnya kasus korupsi yang dilakukan oleh kelompok elite yang memiliki
kekuasaan. Selain kelompok elite, salah satu penggerak dalam suatu masyarakat
adalah massa. Misalnya massa mahasiswa dalam menumbangkan pemerintahan orde
baru.
KESATUAN DERAJAT
Kesatuan derajat adalah persamaan hak antar manusia di hadapan Tuhan dan hukum. Di dalam susunan negara modern hak-hak dan kebebasan-kebebasan asasi manusia itu dilindungi oleh undang-undang dan menjadi hukum positif. Undang-undang tersebut berlaku sama pada setiap orang tanpa kecualinya dalam arti semua orang mempunyai kesamaan derajat dan ini dijamin oleh undang-undang. Kesamaan derajat dan isi jaminan oleh undang-undang.kesamaan derajat dan isi jaminan oleh undang-undang terwujud dalam hak yang diberikan dalam berbagai sektor kehidupan. Hak inilah yang disebut sebagai Hak Asasi Manusia.
A. Persamaan hak
Persamaan hak individu tercantum dalam Pernyataan Sedunia Tentang Hak-hak (Asasi) Manusia atau Universitas Declaration of Human Right tahun 1948 dalam pasal-pasalnya sebagai berikut:
• Pasal 1 berisi tentang “Sekalian orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan budi dan hebdaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.”
• Pasal 2 ayat 1 berisi tentang “Setiap orang berhak atas semua hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang tercanum dalam pernyataan ini dengan tak ada kecuali apa pun, seperti misalnya bangsa, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, milik, kelahiran ataupun kedudukan.”
• Pasal 7 berisi tentang “Sekalian orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan hukum yang sama dengan tak ada perbedaan. Sekalian orang berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap perbedaan yang memperkosa pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang ditujukan kepada perbedaan semacam ini.”
B. Persamaan derajat di Indonesia
Negara Republik Indonesia menganut asas bahwa setiap warga negara tanpa kecualinya memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, dan ini sebagai konsekuensi prinsip dari kedaulatan rakyat yang bersifat kerakyatan.
Ada beberapa pokok hak-hak asasi dalam pasal UUD 1945 adalah sebagai berikut:
• Pertama persamaan tentang kesamaan kedudukan dan kewajiban warga negara di dalam hukum dan di muka pemerintahan. Pasal 27 ayat 1 menetapkan bahwa, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
• Kedua pasal 27 ayat 2 menetapkan bahwa, “Hak setiap warga atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”. Selanjutnya pasal 28 ditetapkan bahwa, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh undang-undang.”
• Ketiga pasal 29 ayat 2 berbunyi, “Negara menjamin kebebasan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Kesatuan derajat adalah persamaan hak antar manusia di hadapan Tuhan dan hukum. Di dalam susunan negara modern hak-hak dan kebebasan-kebebasan asasi manusia itu dilindungi oleh undang-undang dan menjadi hukum positif. Undang-undang tersebut berlaku sama pada setiap orang tanpa kecualinya dalam arti semua orang mempunyai kesamaan derajat dan ini dijamin oleh undang-undang. Kesamaan derajat dan isi jaminan oleh undang-undang.kesamaan derajat dan isi jaminan oleh undang-undang terwujud dalam hak yang diberikan dalam berbagai sektor kehidupan. Hak inilah yang disebut sebagai Hak Asasi Manusia.
A. Persamaan hak
Persamaan hak individu tercantum dalam Pernyataan Sedunia Tentang Hak-hak (Asasi) Manusia atau Universitas Declaration of Human Right tahun 1948 dalam pasal-pasalnya sebagai berikut:
• Pasal 1 berisi tentang “Sekalian orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan budi dan hebdaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.”
• Pasal 2 ayat 1 berisi tentang “Setiap orang berhak atas semua hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang tercanum dalam pernyataan ini dengan tak ada kecuali apa pun, seperti misalnya bangsa, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, milik, kelahiran ataupun kedudukan.”
• Pasal 7 berisi tentang “Sekalian orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan hukum yang sama dengan tak ada perbedaan. Sekalian orang berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap perbedaan yang memperkosa pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang ditujukan kepada perbedaan semacam ini.”
B. Persamaan derajat di Indonesia
Negara Republik Indonesia menganut asas bahwa setiap warga negara tanpa kecualinya memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, dan ini sebagai konsekuensi prinsip dari kedaulatan rakyat yang bersifat kerakyatan.
Ada beberapa pokok hak-hak asasi dalam pasal UUD 1945 adalah sebagai berikut:
• Pertama persamaan tentang kesamaan kedudukan dan kewajiban warga negara di dalam hukum dan di muka pemerintahan. Pasal 27 ayat 1 menetapkan bahwa, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
• Kedua pasal 27 ayat 2 menetapkan bahwa, “Hak setiap warga atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”. Selanjutnya pasal 28 ditetapkan bahwa, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh undang-undang.”
• Ketiga pasal 29 ayat 2 berbunyi, “Negara menjamin kebebasan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.